Selasa, 14 Juni 2011

Perceraian Karena Li'an

Perceraian Karena Li’an
Kedua suami isteri yang sama-sama mengucapkan li’an, pada saat li’an itu diucapkan, maka kedua suami isteri itu bercerai seketika, kedua mantan suami isteri itu menjadi haram untuk berkumpul selamanya dan tidak akan terangkat kembali dengan suatu keadaan, hal ini sesuai Hadis riwayat Ibnu Abas, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, kedoa orang yang telah saling mengucakan li’an, apabila mereka telah bercerai tidak boleh bersatu kembali untuk selamanya. Menurut riwayat ‘Aly dan Ibnu Mas’ud, sebagai mana hadis di atas, kedua orang yang telah saling mengucapkan li’an tidak boleh berkumpul kembali.

Perceraian suami isteri ini terjadi, karena kedua belah pihak telah menampakan kebencian yang sangat menuncak dan telah memutuskan hubungan dengan sifat yang langgeng, karena asas kehidupan suami istri adalah ketenangan, percintaan dan kasih sayang. Dalam peristiwa li’an antara suami isteri asas tersebut telah lenyap, maka akibatnya kedua belah pihak harus bercerai untuk selamanya.

Ulama fikih berbeda pendapat, tentang ketika suami mendustai dirinya. Jumhur ulama menyatakan suami isteri itu tetap tidak dapat berkumpul untuk selamanya sesaui hadis tersebut di atas. Imam Abu Hanifah menyatakan, apabila seorang suami berdusta, maka suami itu wajib dijatuhi hukuman had dengan jilid, dan suami itu dapat kembali lagi ke isterinya dengan akad yang baru, karena menurut AbuHanifah apabila suami itu mengakui berdusta, maka hukum li’an menjadi batal, sebagaimana pula adanya pengakuan terhadap anak yang dilahirkan isterinya. Yang menjadi penyebab keharaman tersebut adalah karena kesulitan menentukan kebenaran salah satu pihak, apabila kesulitan menemukan kebenaran ini telah lenyap, maka keharaman berkumpulpun telah lenyap dengan sendirinya.


Imam Malik menyatakan perceraian suami isteri terjadi, ketika telah terjadi pengucapan li’an, Imam Syafi’i menyatakan perceraian tersebut terjadi setelah li’an dari suami sempurna diucapkan, adapun menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad dan al- Tsaury, perceraian tersebut terjadi setelah ada putusan pengadilan. Selain itu, apakah perceraian karena li’an ini talak  atau fasah. Dalam menanggapi masalah ini Jumhur Ulama menyatakan bahwa perceraian yang dihasilkan dari li’an adalah termasuk fasah, bukan talak, karena dengan adanya li’an kedua suami istri menjadi haram berkumpul kembali dalam suatu ikatan perkawinan, sebagaimana antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memiliki hubungan darah
(muhrim).

Mereka juga berpendapat fasah dengan li’an, berakibat isterinya itu tidak berhak mendapatkan nafkah, pakaian dan tempat tinggal selama dalam masa iddah, karena hak-hak tersebut sebagai akibat dari adanya iddah talak, hal ini sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Ibnu Abas, bahwa “Nabi Muhammad SAW telah menetapkan hukum dengan tidak mendapatkan hak nafkah dan tempat tinggal bagi perempuan yang dili’an, karena iddah li’an bukan iddah talak dan bukan pula iddah yang ditinggal mati suaminya”.

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah perceraian karena li’an termasuk talak  ba’in, karena perceraian tersebut penyebabnya dari pihak suami. Kaidah yang menjadi dasar pandangan Imam Abu Hanifah adalah bahwa setiap perceraian dari pihak suami adalah talak, dan setiap perceraian yang diajukan pihak isteri adalah fasah. Perceraian karena li’an menurutnya dapat dianalogikan kepada perceraian karena isteri cacat yang diputuskan oleh hakim.

Menurut Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam li’an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selamanya. Dengan demikian ketentuan tersebut merupakan respon terhadap pendapat jumhur ulama bahwa li’an menyebabkan hubungan suami isteri menjadi haram untuk selamanya dan dianalogikan terhadap adanya hubungan darah. Oleh karena itu akibat hukum li’an lebih berat dari pada talak ba’in kubra, karena talak walaupun ba’in kubra, setelah adanya muhalil antara bekas suami isteri tersebut dapat bersatu kembali. Sedangkan akibat li’an selamanya haram untuk bersatu kembali. Maka putusnya ikatan perkawinan karena li’an, bukanlah talak sebagaimana yang dikemukakan Imam Abu Hanifah, melainkan yang paling tepat adalah firqah atau fasakh.


Akibat hukum Li’an
Apabila suami telah mengucapkan li’an, maka gugur hukuman had atas dirinya, dan istri wajib dihukum had apabila ia tidak bersedia membantahnya dengan mengucapkan li’an
Apabila istri membantah dan mengucapkan li’an, maka suami tetap bebas dari hukuman had dan istri juga bebas dari hukuman tersebut
Apabila suami istri saling me-li’an, maka jatuhlah perceraian antara keduanya dan haram untuk berkumpul kembali, Ibnu Mas’ud berkata  :
مضت  السنة  ألا  يجتمع  المتلاعنان
Artinya : “  Menurut sunnah yang berlaku, suami istri yang salaing meli’an tidak boleh berkumpul kembali “ ( HR. Daru Quthni )