Minggu, 26 Juni 2011

Pengertian Hukum Acara Perdata

Pengertian Hukum Acara Perdata 

Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil. 

Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum 

a. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH 

Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. 

b. Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH 

Member batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya. 

c. Prof. Dr. R. Supomo, SH 

Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. 

Dikaji dari perspektif penggolongan hukum berdasarkan isinya dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Pada asasnya Hukum Acara Perdata itu adalah:[1]

1. Peraturan Hukum yang Mengatur dan Menyelenggarakan Bagaimana Proses Seseorang Mengajukan Perkara Perdata kepada Hakim/Pengadilan.

Dalam konteks ini, pengajuan perkara timbul karena adanya orang yang “merasa” dan “dirasa” haknya telah dilanggar oleh orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada seseorang / beberapa Tergugat guna memulihkan hak-haknya tersebut yang telah dilanggar dan proses administratif pengajuan surat gugatan itu haruslah sesuai dengan kewenangan Hakim/Pengadilan dimana Tergugat/Para Tergugat bertempat tinggal.[2]

2. Peraturan Hukum yang Menjamin, Mengatur dan Menyelenggarakan Bagaimana Proses Hakim Mengadili Perkara Perdata. 

Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara ( Horen Van Beide Partijen ).[3] Disamping itu, juga dalam proses mengadili perkara hakim juga bertitik tolak kepada peristiwa hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku hukum positif ( ius constitutum/ius operatum ). 

3. Peraturan Hukum yang Mengatur Proses Bagaimana Caranya Hakim “Memutus” Perkara Perdata Tersebut. 

Proses pemutusan perkara oleh hakim diharapkan dapat diterima baik oleh Penggugat atau Tergugat. untuk itu, diharapkan putusan tersebut dapat bersifat “adil”. Agar putusan hakim mencerminkan nilai-nilai keadilan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, putusan tersebut harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili ( Pasal 50 UU No 48 Tahun 2009 ). 

4. Peraturan Hukum yang Mengatur Tahap dan Proses Pelaksanaan Putusan Hakim ( Eksekusi ). 

Tahap pelaksanaan putusan Hakim (Eksekusi) merupakan Proses akhir dari Hukum Acara Perdata. Dengan dilaksanakan tahap eksekusi. Diharapkan orang yang “merasa” dan “dirasa” haknya telah dilanggar orang lain dapat memperoleh haknya tersebut seperti sedia kala sewaktu perkara tersebut belum diajukan kepada Hakim/Pengadila. Pada konteks ini, maka tahap eksekusi dilakukan terhadap putusan Hakim yang berisi ammar penghukuman (comdennatoiri). Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela, baru pelaksanaan ekseskusi yang sesungguhnya dimulai.[4]


Daftar Pustaka
[1] Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan, Bandung: P.T. Alumni 2009, hal 5 
[2] Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg. 
[3] Ibid hal 14. 
[4] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, HUKUM ACARA PERDATA DALAM TEORI DAN PRAKTEK, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm 99.

my shvoong