Minggu, 26 Juni 2011

Asas-asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas Hukum Acara Perdata 

1. Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa 

Artinya, setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat kata-kata ini, yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (daya memaksa).[1]

2. Hakim bersifat menungggu 

Azas ini mengandung arti, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak akan diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actor). Jadi, yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. [2]

a. Hakim bersifat pasif 

Hakim dalam memeriksa perkara serdikap pasif ,artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan kata lain Hakim tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi pokok gugatan para pihak. 

b. Memimpin sidang 

Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin jalannya persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan, Hakim juga berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta yang memutus perkara yang disengketakan. Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan sistem yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain; 
- pemeriksaan persidangan secara langsung 
- proses beracara secara lisan

3. Mendamaikan kedua belah pihak 

Azas mendamaikan para pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral. Sekedar penegasan bahwa usaha mendamaikan sedapat mungkin diperankan Hakim secara aktif, sebab bagaimana pun adilnya suatu putusan namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Apalagi dalam perkara perceraian, usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan sehingga sifatnya imperatif artinya hakim harus berupaya secara optimal untuk bagaimana perceraian antara kedua belah pihak tidak terjadi. Hakim aktif memberi petunjuk kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan 

Banyak di antara para pencari keadilan yang tidak mampu dalam segala hal. Awam dalam hukum mengakibatkan ia harus bergulat sendiri di hadapan sidang, menghadapi para pencari keadilan semacam ini sangat memerlukan bantuan dan nasehat pengadilan. Mereka buta bagaimana cara yang tepat mempergunakan hak melakukan upaya banding atau kasasi dan tidak mampu merumuskan alasan-alasan memori banding dan memori kasasi. Disinilah peran hakim untuk memberi petunjuk dan upaya-upaya hukum kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan. Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 

Mendengar kedua belah pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya Hakim tidak boleh menerima keterangan darisalah satu pihak saja sebagai pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberikesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Selain pasal 4 UU No. 48 tahun 2009, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg 

4. Persidangan terbuka untuk umum (Openbaar) 

Yang dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Tujuan azas ini adalah: 
1) Untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, yakni dengan meletakan peradilan dibawah penguasaan umum 
2) Untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan. 
3) Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang jujur serta putusan yang adil kepada masyarakat. 

Azas ini dijumpai dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kecuali untuk perkara perceraian atau atas permintaan keluarga terdakwa. Akan tetapi walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan tertutup untuk umum, putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum sertamengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untu kumum, akan tetapi di dalanm berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. 

5. Ultra petita partium 

Artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut oleh penggugat. tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan.[3]

6. Mendengarkan kedua belah pihak 

Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil. 

Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.[4] Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Selain pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg. 

7. Putusan harus disertai alasan-alasan 

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili. Karena dengan adanya alasan-alsan maka putusan mempunyai wibawa, dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut yurisprudensi suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya putusan tersebut. 

8. Berperkara dikenakan biaya 
Untuk berperkara pada azasnya dikenakan biaya yang meliputi; 
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai 
2. Biaya saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah 
3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain 
4. Biaya pemanggilan para pihak yang berperkara 
5. Biaya pelaksanaan putusan, dan sebagainya. 

Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.[5]

9. Azas sederhana, cepat dan biaya ringan 

Yang dimaksud dengan Azas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah: 
1. Sederhana, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau dengan kata lain suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. 
2. Cepat, menunjuk kepada jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang, cepat penyelesaian berita acaranya sampai penandatanganan putusan dan pelaksanaan putusannya itu. 
3. Biaya ringan, biaya perkara pada pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh masyarakat pencari keadilan. 



Daftar Pustaka
[1] pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. 
[2] HIR pasal 118 dan R.Bg pasal 142. 
[3] Pasal 178 ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3 R.Bg. 
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Audi_alteram_partem 
[5] Pasal 237 HIR