Tahap Pemeriksaan
1. Tindakan Permulaan Sebelum Pemeriksaan Perkara
Setelah surat gugatan lengkap, penggugat mendaftarkan surat gugatannya dosertai dengan salinannya. Salinan ini dimaksudkan untuk menyampaikan kepada tergugat bersama dengan surat panggilan dari Pengadilan Negeri. Lalu panitera akan mencatat perkara tersebut dalam suatu daftar perkara.
Pada waktu memasukkan surat gugatan tersebut, penggugat juga diharuskan membayarkan biaya perkara. Tetapi tentang biaya perkara ini ada pengecualian bagi mereka yang tidak mampu. Bagi mereka yang tidak mampu ini dimungkinakanuntuk beracara secara cuma – cuma dengan cara mengajukan permohonan izin kepada ketua Pengadilan Negeri yang disertai surat keterangan tidak mampu dari pejabat lurah atau camat.
Setelah biaya perkara dibayar, ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari sidang perkara tersebut dan sekaligus menyuruh memanggil kedua belah pihak yang bersengketa agar menghadap di pengadilan pada hari sidang yang sudah ditetapkan. Dalam menetapkan hari sidang, hakim akan memperhatikan lokasi tempat tinggal para pihak yang bersengketa untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang diberikan antara para pihak yang bersengketa dengan hari persidangan. Lazimnya hakim akan memberikan tenggang waktu minimal 3 (tiga) hari kerja.
2. Tindakan Yang Dapat Dilakukan Selama Sidang
Dalam hal seseorang mengajukan gugatan kepada pengadilan, bukan saja ia mengharapkan agar memperoleh putusan yang menguntungkan dirinya, akan tetapi bahwa putusan tersebut akhirnya dapat dilaksanakan. Untuk menjamin hal itu, maka hukum acara perdata mengenal adanya upaya hukum yaitu penyitaan (beslag) yang merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata.
Penyitaan sebagai jaminan (sita jaminan) dapat dilakukan baik terhadap barang milik penggugat sendiri yang ada di tangan orang lain, maupun terhadap barang milik tergugat. sita jaminan tersebut terdiri dari beberapa macam, yakni:[1]
a. Sita Revindicatoir ( Pasal 226 HIR )
b. Sita Conservatoir ( Pasal 227 HIR )
c. Sita Eksekutorial
d. Sita Maritaal ( Pasal 823 RV )
e. Sita Gadai ( Pasal 751 RV )
3. Pemeriksaan di Muka Sidang.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Setelah sidang dibuka, maka kedua belah pihak dipanggil masuk. Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak. Gugatan akan gugur apabila penggugat tidak gadir dan tidak menyuruh kuasanya untuk menghadap di pengadilan pada hari sidang yang telah ditentukan, meskipun ia telah dipanggi dengan patut. Karena gugutan gugur, penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Pihak penggugat yang perkaranya digugurkan, diperkenankan unutk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara yang baru.
a) Sifat dan Arti Akta Perdamaian Diperbandingkan Dengan Perdamaian Diluar Sidang
Mungkin untuk menyelesaikan sebuah sengketa antara dua pihak atau lebih dapat dipilih penyelesaian diluar siding secara damai dapat dengan bantuan teman baik ataupun kepala desa, apabila jalan damai itu berhasil maka gugatan harus dicabut tetapi bila tidak maka sidang akan dilanjutkan.
Adapun cara berdamai di depan hakim selama perkara diperiksa. Hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, bahkan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan negeri.[2] Apabila hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Oleh karana perdamaian bersifat tanpa paksaan antar pihak, maka terhadap putusan damai itu menurut ketentuan pasal 130 ayat 3 HIR yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan atau kasasi.
b) Perihal Putusan Verstek
Jikalau hari sidang pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir ataupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, sedangkan ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek
Putusan verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir, meskipun menurut hukum acara ia harus datang. Verstek ini hanya dapat dinyatakn jikalau tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.[3]
Dalam putusan verstek dimana penggugat kalah, ia dapat mengajukan banding. Sedang apabila tergugat yang dikalahkan karena ia tidak hadir, ia diberi kesempatan mengajukan perlawanan (verzet). Perlawanan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah pemeriksaan putusan verstek diberitahukan kepada tergugat. seandainya perlawan diterima, pelaksanaan putusan verstek itu terhenti. Dalam proses perlawan ini pihak penggugatlah yang harus membuktikan dalilnya karena kedudukan penggugat dan tergugat tidak berubah.
c) Perihal Jawaban Tergugat, Gugat Ginugat dan Eksepsi.
Perihal jawaban tergugat, gugat ginugat dan eksepsi merupakan persoalan-persoalan yang akan dibahas secara bersama-sama dan sekaligus maka pada umumnya diajukan bersama-sama dalam jawaban tergugat. Sesungguhnya HIR menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan namun kini sudah lazim jawaban tergugat diajukan secara tertulis dalam bentuk replik yang kemudiam dijawab oleh pihak penggugat secara tertulis juga dalam bentuk duplik.jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 (dua) macam :
1. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (Verweer ten pricipale)
2. Tentang tangkisan / eksepsi, HIR hanya mengenal 1 macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim.
Eksepsi tersebut terdiri dari 2 macam yaitu eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut dan eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif, kedua eksepsi itu disebut eksepsi prosesuil dal hukum acara perdata.
a) Eksepsi yang berdasarkan hukum materiil ada 2 macam yakni :
eksepsi dilatoir yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan
b) Eksepsi peremptoir yaitu eksepsi yang menghalangi dikabuklannnya gugatan.
Eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut adalh eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk wewenang pengadilan negeri akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan lain. Hal ini diatur dalam pasal 134 HIR. Eksepsi ini dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung bahkan hakim wajib karena jabatannya.
Eksepsi mengenai kekuasaan relatif adal eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tertentu tidak berkuasan mengadili perkara tertentu. Jawaban tergugat yang mengenai pokok perkara hendaknya dibuat dengan jelas, pendek dan berisi, langsung menjawab pokok persoalan dengan mengemukakan alsan-alasan yang mendasar.
Perihat gugat ginugat, gugat balasan, gugat balik, atau gugat rekonpensi diatur dalam pasal 132a dan pasal 132b HIR dari kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat apabila ia atau mereka kehendaki dalam semua perkara untuk mengajukan gugat balasan atau gugat balik terhadap penggugat. Pada asasnya gugat balasan dapat diajukan dalam setiap perkara, pengecualiannya adalah dalam 4 hal yang disebut dalam pasal 132b HIR.
1. Jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat sedang gugat balasan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya
2. Jika pengadilan negeri, kepada siapa gugat asal dimasukkan, tidak berhak oleh karena berhubungan dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan
3. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan
4. Jika dalam pemeriksaan tingklat pertama tidak dimasukkan gugat balasan maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan gugat balasan.
Gugat balasan pun dapat diajukan secar lisan dipersidangan yang nantinya akan dicatat dalm berita acara sidang. Hal ini biasa terjadi di kota-kota kecil yang penduduknya memiliki perkara perdata. Gugat balasan biasanya diputuskan dalam satu putusan bersama gugat asal. Pertimbangan hukumnya yang menuat 2 hal yaitu pertimbangan dalam kopensi dan pertimbangan dalam rekopensi.
Gugat balasan sangat bermanfaat bagi pihak yang berperkara seperti menghemat ongkos perkara, mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian, menghindarkan putusan yang saling bertentangan.
d) Perihal Menambah atau Mengubah Surat Gugatan.
HIR tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugatan, sehingga hakim leluasa untuk menentukan sejauhmana penambahan surat gugat itu akan diperkenankan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan surat gugat diperkenankan asalkan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak jangan sampai dirugikan.
Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat diajukan setelah tergugat mengajukan jawaban serta harus mendapat persetujuan dari tergugat apabila tergugat tidak setuju dengan hal itu maka permohonan akan ditolak. Sebaliknya dalam hal pengurangan gugatan biasanya akan diperbolehkan oleh hakim. HIR tidak mengatur mengenai perihal pencabutan gugat akan tetapi dalam praktek prihal pencabutan gugatan senantiasa diizinkan selama pihak tergugat tidak mengajukan jawaban.
e) Pengikutsertaan Pihak Ketiga Dalam Proses
Perihal pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses tidak diatur dalam HIR. Namun apbila dibutuhkan dalam praktek dapat mengambil alih bentuk yang terdapat dalam peraturan lain seprti vrijwaring, voeging, tussenkomst yang berpedoman pada RV tapi disesuaikan dengan kebuituhan praktek.
Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, diluar belah pihak yang berperkara, ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut. Cara mengajukannya bahwa pihak tergugat dalam jawabannya secar lisan atau tertulis mohon kepada majelis hakim agar diperkenankan untuk memanggil seorang sebagai pihak yang turut berperkar dalam perkara yang sedang diperiksa majelis tersebut untuk melindungi tergugat. Permohonan semacam ini disebut gugatan insidentil dandengan putusan sela akan diputuskan apakah gugatan insidentil itu akan dikabulkan atau ditolak karena dianggapan tidak beralasan, putusan sela tersebut bdisebut putusan insidentil.
Penggugat dalam pokok perkara ditanya pendapatnya mengenai jawaban yang diajukan tergugat dalam vrijwaring tersebut. Dalam hal ini disampingtergugatb dapat mengajukanpermohonan vrijwaring juga sepeti dalam gugatan biasa dalam pokok perkara dapat diajukan gugat balasan. Maka akan terjadi bahwa penggugat semula menjadi penggugat konpensi/ tergugat dalam rekonpensi dan tergugat semula menjadi tergugat dalam konpensi/ penggugat dalam rekonpensi sedang pihak ketiga yang ditarik daln perkara ini menjadi tergugat dalam vrijwaring.
Hampir sama keadaannya dengan penjaminan tersebut, tussenkomst atau intervensi adalah percampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik terhadap penggugat maupun kepada tergugat melainkan hanya memperjuangkan kepentingan sendiri.Oleh karena ada intervensi ini, maka perdebatan menjadi perdebatan segitiga. Kemudian putusan dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan.
Lain lagi dari percampuran pihak ketiga yang merasa berkepentingan lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin mkenggabungkan dirikepada salah satu pihak. Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga untuk ikut proses terlebih dahulu harus didengar kesemuanya pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim mempertimbangkan kepentingan masing-masing sebelum menolak atau mengabulkan percampuran pihak ketiga tersebut.
f) Perihal Kumulasi Gugatan dan Penggabungan Perkara.
Kumulasi gugatan tidak diatur dalam HIR. Pada umumnya setiap gugatan harus berdiri sendiri, penggabungangugat hanya diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertantuyaitu apabila pihak penggugat atau tergugat yang masih itu-itu juga orangnya. Apabila suatu gugatan ditujukan kepada seseorang dalam 2 (dua) kualitas, hal itu tidak diperkenankan. Misalnya beberapa penggugat secara bersama-sama menggugat beberapa tergugat dalam satu surat gugat, agar mereka membayar utang masing-masing kepada masing-masing penggugat. Hal ini tidak diperkenankan karena perkara-perkara itu tidak mempunyai koneksitas yang satu dengan yang lainnya.
Apabila pada satu pengadilan ada dua perkara yang saling berhubungan apalagi para pihak itu juga yang saling berperkara maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar perkara tersebut digabungkan. Permohonan penggabungan itu apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugat yang kedua atau gugat yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat maka hal itu harus diajukan bersama-sama dalam jawaban pertama. Untuk menggabungkan perkara tersebut dijatuhkan putrusan sela yang disebut putusan insidentil. Penggabungan perkara dan kumulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan 135 RV
Daftar Pustaka
[1] M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, hlm, 24.
[2] PerMA Pasal 7ayat 1 No 1 Tahun 2008
[3]R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 15, Jakarta: Pradyana Paramita, hlm, 33.