Contoh Renvoice:
Apabila seorang warga inggris yang berdomisili di
Indonesia harus ditentukan apakah ia sudah dewasa atau belum, atau dia hendak
menikah, maka menurut HPI Indonesia berdasarkan pasal 16 AB harus dipakai hukum
Inggris. Dengan kata lain perkataan kaidah Hukum Perdata Internasional ( yang
selanjutnya disebut HPI ) Indonesia menunjuk kepada hukum Inggris dan hokum
inggris menunjuk kembali kepada hukum Indonesia, karena menurut HPI inggris
yang harus dipakai untuk status personil yaitu domisili dari seseorang. Dalam
hal ini domisili orang inggris bersangkutan adalah di Indonesia, maka hkum
Indonesialah yang harus diberlakukan
ANALISIS
Renvoice timbul
karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada masing-masing negara,
terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan prinsip
domisili dan nasionalitas. Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat
dengan persoalan kwalifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah
“Apakah HPI itu merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang
nasional?”. Jika dianggap sebagai hukum yang sifatnya supra nasional, maka
renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI semacam itu memiliki kekuatan
hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk mengoper atau menolak
renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib hukum yang
lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang
bersifat supra nasionalah yang berlaku.
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:
1. Renvoi
dianggap tidak logis
Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali
secara terus-menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung
karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu
penunjukkan kembali.
Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan kembali.
Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan kembali.
2. Renvoi
merupakan penyerahan kedaulatan legislatif.
Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut
Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah
hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian
dianggap berlaku.
Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
3. Renvoi
membawa ketidak pastian hukum.
Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah
penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai
hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika
tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.
Namun saya setuju dengan adanya renvoi karena,
1. Renvoi
memberikan keuntungan praktis
Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern
sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan
memberikan keuntungan praktis bagi hakim.
2. Jangan
bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri.
Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat
dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan
dengan kasus yang ada.
3. Keputusan-keputusan
yang berbeda.
Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam
bentuk keputusan yang berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum
yang terkait.
Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas
perihal pro dan kontra pada renvoi, saya menilai bahwa yang digunakan dalam
menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya
berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk
dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam
suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum
positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal
16 sampai 18 AB.
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut:
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928
2. Perkara palisemen seorang British India tahun 1925
Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi
internasional meliputi :
1. Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951,
1955. Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip
nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni
1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan. Pasal 1 mengatur bahwa
apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut sistem domisili,
memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem
domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.
2. Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara
Benelux 1951. Persetujuan itu dilakukan antara negara Belgia, Belanda dan
Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak dapat diterima. Jika
tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan tersebut diartikan dengan
istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Anynomous, http://kuliahade.wordpress.com,
diakses pada tanggal 4 juni 2010 pada pukul 19.09 WIB.
2. Anynomous, http://indonesia.faithfreedom.org,
diakses pada tanggal 4 juni 2010 pada pukul 19.46 WIB.
3. Widhiyanti,
Hanif Nur SH M.hum, kompilasi materi
hukum perdata internasional.
4. Persetujuan
Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955.
5. Persetujuan
hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951.