Selasa, 14 Juni 2011

Sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam?

Pendahuluan


Hukum kewarisan yang lazim disebut dengan Hukum Faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses peralihan  harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendefinisikan hukum kewarisan adalah:
“ Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada Wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl .

Buku II Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing. Dasar hukum kewarisan Islam diatur dengan tegas dalam Al Qur-an, diantaranya dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 7 yang berbunyi :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Selain terdapat dalam Al Qur-an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga terdapat dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang artinya :
“Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi S.A.W, ia berkata : Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam Al Qur-an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”. (H.R. Bukhari – Muslim).

Agama Islam mengatur cara pewarisan itu berasaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual. Di samping sifat hukum waris Islam tersebut diatas, prinsip yang mendasari sistem pewarisan Islam dalam simposium hukum waris nasional tahun 1983 di Jakarta adalah sebagai berikut :
a.       Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang untuk pengosongkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat pada orang yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali pembagian hartanya semasa ia masih hidup.
b.      Oleh karena pewarisan merupakan aturan hukum maka pewaris tidak boleh meniadakan hak ahli waris atas harta warisan. Sebaliknya ahli warispun berhak atas harta peninggalan tanpa syarat pernyataan secara sukarela atau melalui Putusan Pengadilan (hakim).
c.       Pewarisan terbatas dilingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah.
d.      Hukum waris Islam cendrung membagikan harta warisan kepada ahli waris dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara perorangan menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak jumlahnya.
e.       Perbedaan umur tidak membawa pembedaan dalam hak mewarisi bagi anak-anak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab si anak dalam kehidupan kerabat.

Hal yang perlu diketahui bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai corak atau karakteristik tersendiri, yang berbeda dengan hukum kewarisan yang lain, corak atau karakteristik tersebut adalah :
a)      Perolehan perseorangan ahli waris
Maksudnya perolehan yang diperuntukan bagi perseorangan yaitu bagian tertentu bagi orang-orang tertentu, dalam keadaan tertentu. Angka-angka faraid 1/8, ¼, 1/6, 1/3, ½, dan 2/3 menunjukan jaminan kepemilikan secara individu. Untuk anak lakilaki memperoleh bagian dua kali anak perempuan.
b)      Variasi pengurangan perolehan ahli waris
Variasi pengurangan perolehan terjadi karena adanya orangorang tertentu dalam keadaan tertentu memperoleh bagian yang tertentu atau kehadiran dzawul faraid lainnya.
Contohnya dapat dilihat dalam beberapa garis hukum :
1.      Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 11, perolehan dzawul faraid dua orang anak perempuan atau lebih 2/3, satu orang anak perempuan ½
2.      Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 12, perolehan untuk duda atau janda, dari ½ menjadi ¼ untuk duda karena ada anak, dari ¼ menjadi 1/8 untuk janda karena ada anak. Pengurangan perolehan bagian warisan disebabkan oleh jumlah mereka berbeda.
3.      Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 176, perolehan bagi satu saudara perempuan 1/2 , dua orang saudara perempuan atau lebih 2/3.
c)      Metode penyelesaian pembagian warisan
Adanya metode penyelesaian yang dikenal dengan Aul dan Rad. Aul adalah suatu cara penyelesaian bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan, dilakukan  pengurangan terhadap bagian masing-masing ahli waris secara berimbang. Rad adalah pengembalian sisa harta setelah dibagi kepada dzawul faraid, sisa harta tersebut dibagi secara berimbang oleh ahli waris dzawul faraid.

Corak atau karakteristik hukum kewarisan Islam tersebut tidak ditemui dalam hukum kewarisan KUH Perdata dan Hukum Waris Adat. Pada kenyataannya bidang kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks dan pola pemikirannya bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Diantaranya hukum kewarisan Islam yang mengalami perkembangan dengan adanya ahli waris pengganti, yang penerapannya di Indonesia diatur dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dalam KUH Perdata, diatur dengan tegas tentang penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling), dalam Al Qur-an istilah ahli waris pengganti memang tidak dikenal namun kedudukan mereka sebagai ahli waris dapat diketahui melalui perluasan pengertian ahli waris langsung yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Tentang sejauh mana kedudukan mereka sebagai ahli waris dalam hubungannya dengan ahli waris langsung yang digantikannya, baik dari segi bagian yang mereka terima maupun dari segi kekuatan kedudukannya, tidak ada petunjuk  yang pasti dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang kuat. Dalam hal ini Allah menyerahkan kepada manusia untuk menentukan hukumnya. Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam untuk melengkapi hukum-hukum yang telah ada dan juga bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi ahli waris. Waris pengganti pada dasarnya adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris kerena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil menggantikannya. Jadi bagian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli waris yang digantikannya, untuk itu ahli waris pengganti perlu dikembangkan dalam hukum kewarisan Islam. Apalagi hal ini tidak akan merugikan ahli waris lainnya.

Anggapan di sebahagian pihak bahwa hukum Islam tidak mengenal ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan, hal ini dirasa tidak adil bila dihubungkan kepada seorang cucu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku anak pewaris, keponakan menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya. Dalam hukum kewarisan Islam ada ahli waris pengganti, yang dalam beberapa hal berbeda dengan penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) dalam hukum kewarisan KUH Perdata.

Permasalahan
Bagaimana sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam?

Analisis

Dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991, ketentuan ahli waris pengganti dimuat dalam Pasal 185. Hazairin menyimpulkan adanya sistem penggantian dalam hukum kewarisan Islam berdasarkan pada Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33 dengan istilah Mawali , yaitu ahli waris karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris. Para mujtahid terdahulu pada umumnya berpendapat bahwa kelompok yang disebut sebagai ahli waris pengganti itu, hak yang mereka terima bukanlah hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya. Hal ini terlihat dalam contoh dibawah ini :
a.       Bagian yang diterima oleh cucu laki-laki adalah sebagaimana yang diterima oleh anak-anak laki-laki. Cucu perempuan dari anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang diterima oleh anak perempuan, tidak sebagaimana hak yang diterima oleh anak laki-laki yang digantikannya dan yang menghubungkannya kepada pewaris.
b.      Kakek menerima bagian sebagaimana yang didapat oleh ayah, baik sebagai dzawil furud maupun sebagai ashabah. Tetapi kakek tidak berkedudukan sebagai ayah sebagaimana terlihat dalam beberapa hal :
1)      Ayah dapat menutup hak kewarisan saudara, tetapi kakek dapat mewaris bersama saudara, kecuali menurut ulama Hanafi, kakek juga menutup kewarisan saudara.
2)      Ayah dapat menggeser hak kewarisan ibu dari sepertiga (1/3) harta menjadi sepertiga (1/3) dari sisa harta dalam masalah garawayni. Dalam hal ini kakek tidak dapat disamakan dengan ayah.
c.       Hak kewarisan nenek tidak sama dengan hak kewarisan ibu, karena nenek dalam keadaan bagaimanapun tetap menerima seperenam (1/6), sedangkan ibu kadang-kadang menerima sepertiga (1/3) yaitu bila pewaris tidak ada meninggalkan anak.
d.      Saudara Seayah tidak sepenuhnya menempati kedudukan saudara kandung, sebagaimana terlihat dalam keadaan dibawah ini :
1)      Saudara laki-laki kandung dapat menarik saudara perempuan kandung menjadi asabah sedangkan saudara seayah tidak dapat berbuat begitu.
2)      Saudara kandung dapat berserikat dengan saudara seibu dalam masalah musyarakah, sedangkan saudara seayah tidak dapat diperlakukan demikian.
e.       Anak saudara menerima warisan sebagai anak saudara, demikian pula paman dan anak paman menerima hak dalam kedudukannya sebagai ahli waris tersendiri.

Khusus menyangkut dengan masalah cucu, dalam keadaan apapun mujtahid terdahulu tetap menempatkannya sebagai cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya. Cucu yang dimaksud disini khusus cucu melalui anak laki-laki. Berdasarkan pendapat diatas, maka cucu yang ayahnnya sudah terlebih dahulu meninggal dunia, tidak berhak menerima warisan kakeknya bila saudara laki-laki dari ayahnya itu ada yang masih hidup. Sajuti Thalib mengemukakan pendapat bahwa ahli waris pengganti itu diambil dari pengertian mawali, maksudnya ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentu wasiat) dengan si pewaris.  

Sajuti Thalib mendasarkan argumentasi atau pendapatnya pada ajaran kewarisan bilateral menurut Qur’an dan hadis khususnya dalam masalah cucu dengan menafsirkan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 33, yang diuraikan dalam beberapa garis hukum, sebagai berikut :
a.       Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
b.      Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
c.       Dan bagi setiap orang kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi ) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
d.      Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.

Dengan demikian menurut ajaran bilateral Hazairin yang dianut oleh Sajuti Thalib beserta murid-muridnya dikenal adanya lembaga bij plaatsvervulling atau penggantian ahli waris. Sedangkan menurut ajaran Syafi’i (patrilinial) dikenal juga penggantian sepanjang cucu melalui anak laki-laki bila tidak ada anak lakilaki yang bukan ayah dari cucu tersebut masih hidup. Hukum Waris Islam memang tidak mengatur dengan tegas tentang penggantian ahli waris oleh karena itu masalah penggantian ahli waris dan kedudukan mereka dapat diketahui melalui perluasan maksudnya pengertian anak diperluas kepada cucu, pengertian ayah diperluas kepada kakek, pengertian saudara diperluas kepada anak saudara. Dari dasar hukum mereka menjadi ahli waris, dapat mereka disebut sebagai ahli waris pengganti. Ismuha mengutip pendapat dari Muhammad Amin Al-Asyi dalam kitabnya Khulaashah ‘Ilmi Al-Faraidl (terjemahannya) yang secara garis besar adalah sebagai berikut :
1.      Yang menggantikan tempat orang lain dalam warisan. Anak laki-laki dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-laki.
2.      Anak perempuan dari anak laki-laki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya anak laki-laki.
3.      Nenek perempuan adalah seperti ibu.
4.      Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara seayah.
5.      Saudara laki-laki seayah adalah seperti saudara laki-laki seibuseayah.
6.      Saudara perempuan seayah adalah seperti saudara perempuan seibu seayah, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya saudara laki-laki seibu seayah.

Dalam mengemukakan fikirannya Hazairin berbeda pendapat dengan pendapat mujtahid terdahulu bahwa cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal menempati kedudukan ayahnya dalam mendapati harta warisan kakeknya. Cara pewarisan seperti ini disebut pewarisan secara penggantian yang dalam BW disebut pewarisan secara plaatsvervulling. Garis hukum yang dijadikan dasar oleh Hazairin dalam menetapkan adanya sistem penggantian dalam hukum kewarisan Islam ialah firman Allah surat An-Nisa ayat 33 yang disebut dengan ayat mawali, yang berbunyi:
“Wa likullin ja’alna mawaaliya mimma taraka’lwaalidaani walaqrabuna, wa’lladzina’aqadat ‘aima nukum, fa atuhum nasibahum”.

Letak perbedaan pendapat antara Hazairin dengan para ulama lainnya yaitu pada menafsirkan kata mawaaliya dan pada kedudukan perkataan waalidaani. Menurut Hazairin kedudukan al-waalidaani adalah subjek dari kata kerja taraka. Oleh karena itu maka pengertian mawaaliya adalah cucu dari anak yang sudah meninggal lebih dahulu, terhalang dengan adanya anak laki-laki lain yang masih hidup. Menurut ulama lainnya, kedudukan perkataan alwaalidaani adalah penjelsan dari mawaaliya. Oleh karena itu tidak termasuk cucu yang ayahnya sudah meninggal lebih dahulu dalam hal pewaris masih mempunyai anak laki-laki lain yang masih hidup. Dalam bukunya Sarai’u al Islami IV, Ja’far Ibnu Husein yang dikutip oleh Amir Syarifuddin mengatakan bahwa Ahlu Sunnah membatasi ahli waris kerabat yang dikemukakan oleh golongan Si’ah kepada keturunan anak laki-laki saja. Cucu melalui anak laki-laki menempati kedudukan anak laki-laki. Bila ia sendirian, ia mengambil semua harta. Bila bersama dalam jenis kelamin yang sama, mereka berbagi sama banyak dan bila berbeda kelamin, mereka berbagi dengan bandingan seorang laki-laki mendapat sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Bila disamping mereka ada ahli waris yang lain, mereka mendapat sisa harta sesudah pembagian ahli waris lain sebagai zul furud.


Daftar Pustaka



  1. Anynomous, www.wordpress.com, diakses pada tanggal 15 Desember 2010, pada pukul 20.09 WIB.
  2. Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim Sahih Fikih Sunnah ( Penterjemah Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh ), Jakarta, Pustaka Azzam, 2007.
  3. Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
  4. Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUHPerdata, Hukum
  5. Adat dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.