Minggu, 26 Juni 2011

Prinsip Hukum Pembuktian ( Perdata )

Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. 

1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil 

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. 

Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.[1] Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.. Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.[2]

2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara 

Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Begitu juga sebaliknya, kalau penggugat membenarkan dan mengakui dalil bantahan yang diajukan tergugat, berarti sudah dapat dipastikan dan dibuktikan gugatan yang diajukan penggugat sama sekali tidak benar. Apalagi jika didekati dari ajaran pasif, meskipun hakim mengetahui dan yakin pengakuan itu bohong atau berlawanan dengan kebenaran, hakim harus menerima pengakuan itu sebagai fakta dan kebenaran. Oleh karena itu, hakim harus mengakhiri pemeriksaan karena dengan pengakuan tersebut materi pokok perkara dianggap telah selesai secara tuntas.[3]
3. Fakta-fakta yang Tidak Perlu Dibuktikan 

Tidak semua fakta harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.[4]

4. Bukti Lawan ( Tegenbewijs ) 

Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan. 

Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan : 

“ Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. “ 

Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs. 

Dalam teori maupun praktek, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak tergugat. Oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan sebagai bukti penyangkal (contra-enquete ) yang diajukan dan disampaikan oleh tergugat di persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan.[5] Adapun tujuan utama pengajuan bukti lawan selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga dimaksudkan untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak lawan tersebut. 

Terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan bukti lawan. Prinsip yang pertama, semua alat bukti yang diajukan pihak lain, dalam hal ini penggugat, dapat dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. A. Pitlo menyatakan bahwa bukti lawan dapat dikemukakan juga dalam hal bukti yang diberikan mempunyai daya pembuktian wajib. Semua bukti dapat disangkal ataupun dilemahkan. Beliau juga menambahkan bahwa bukti lawan adalah bukti yang sama mutunya dan sama kadarnya dengan bukti. Alat yang dipakai untuk memberikan bukti lawan adalah sama dengan alat yang dipakai untuk memberikan bukti, dan daya alat-alat itu sama kuatnya. .[6]

Prinsip yang kedua, tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Hal ini tergantung pada ketentuan undang-undang. Apabila undang-undang menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan ( beslissende bewijs kracht ) atau memaksa ( dwingende bewijs kracht ) maka alat bukti tersebut tidak dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan bukti lawan. Misalnya alat bukti sumpah pemutus ( beslissende eed ) yang disebut dalam Pasal 1929 KUHPerdata dan Pasal 182 RBg/155 HIR. 

Dengan begitu, bukti lawan hanya dapat diajukan terhadap alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan bebas ( vrijbewijs kracht ), seperti alat bukti saksi maupun alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan sempurna ( volledig bewijskracht ) seperti akta otentik atau akta di bawah tangan.[7]



Daftar Pustaka
[1] Subekti, Op, Cit., hlm. 9 
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 498 
[3] Ibid., hlm. 505 
[4] Ibid., hlm. 508 
[5] A. Pitlo., Pembuktian dan Daluwarsa ( terj. ), PT. Intermasa, Jakarta, 1978, hlm. 34 
[6] Ibid., hlm. 35 
[7] M. Yahya Harahap, op cit, hlm. 515