A. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada saat dirumuskan, KUHP (1886) berpegang pada asas yang disebut dengan “societas/universitas delinquere non potest” yang berarti bahwa badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Relevan dengan masalah ini Muladi menyatakan bahwa:
“Prinsip ini secara tersurat dan tersirat tercantum dalam Pasal 51 (lama) WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang berbunyi: ‘jika ditentukan pidana karena pelanggaran bagi pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu terjadi bukan karena kesalahannya’. Baik aliran klasik (daad-strafrecht), aliran modern (dader-strafrecht), maupun aliran neo-klasik (daaddaderstrafrecht) melihat individu sebagai pelaku atau subyek hukum sentral”.
Lebih lanjut Muladi mengemukakan bahwa :
“Dalam perkembangannya kemudian timbul kesulitan dalam praktek, sebab di dalam berbagai tindak pidana khusus timbul perkembangan yang pada dasarnya menganggap bahwa tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat kualitas keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum atau korporasi tersebut. Hal ini dimungkinkan atas dasar Pasal 91 KUHP Belanda atau Pasal 103 KUHP Indonesia yang memungkinkan peraturan di luar kodifikasi menyimpang dariKetentuan Umum Buku I”.
Memperhatikan pendapat Muladi tersebut terlihat bahwa meskipun KUHP masih menganut subjek tindak pidana berupa “orang”, namun demikian, karena perkembangan keadaan menuntut adanya pertanggungjawaban di luar subjek hukum orang. Apabila diperhatikan, perkembangan peraturan perundang-undangan di luar KUHP telah mengalami pergeseran yang sangat pesat dengan dapat dipertanggungjawabkannya korporasi, dan disebutkannya secara eksplisit bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana, meskipun menggunakan berbagai cara penyebutan dan juga model pertanggungjawaban terlihat belum seragam. Pertanggungjawaban pidana korporasi juga dijumpai di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang akan dibahas dalam bab ini sekaligus diperbandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
1. Penyebutan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Lingkungan.
Memperhatikan perumusan tindak piana lingkungan hidup, dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 1997, terlihat bahwa perumusan selalu diawali dengan kata “barang siapa”. Perumusan tersebut seolah-olah memperlihatkan bahwa subjek hukumnya terbatas pada subjek hukum orang. Namun demikian apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ke-24 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum, maka pemaknaannya menjadi lain, dengan kata lain subjek hukumnya dapat berupa korporasi. Terminologi yang dipakai dalan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, untuk menyebut korporasi dengan menggunakan istilah: (1) badan hukum; (2) perseroan; (3) perserikatan; (4) yayasan; disamping juga (5) organisasi lain; sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sbb:
Pasal 45.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Memperhatikan rumusan Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut, terlihat bahwa Undang-undang ini telah secara tegas mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana dengan menyebutkannya sebagai badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, dan bahkan tidak hanya dibatasi dengan itu, tetapi dengan menjaga kemungkinan lain dari bentuk korporasi dengan istilah yang disebut sebagai “organisasi lain”. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tidak menutup kemungkinan subjek hukum korporasi dalam bentuk organisasi selain yang disebutkan dalam rumusan pasal ini sebagai subjek tindak pidana.
2. Korporasi Sebagai PelakuTindak Pidana Lingkungan.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 45 memperlihatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana lingkungan, dengan menyebutnya sebagai : (1) badan hukum; (2) perseroan; (3) perserikatan; (4) yayasan; disamping juga (5) organisasi lain. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 1 ke-24 yang menyebutkan bahwa : “Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum”. Penyebutan badan hukum (korporasi) sebagai subjek tindak pidana berarti membawa konsekuensi pada dapat dipidananya korporasi. Untuksampai pada pemahaman tentang dapat dipidananya korporasi, berikut akan dibahas secara berututan tentang (a) kapan korporasi dapat dipidana; (b) siapa yang dapat dipertanggungjawabkan; dan (c) dalam hal bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
a. Kapan Korporasi Dapat Dikatakan Melakukan Tindak Pidana Lingkungan.
Korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (2) sebagai berikut:
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap merekayang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama”.
Ketentuan Pasal 46 ayat (2) tersebut memperlihatkan bahwa korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana ketika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Dengan demikian tindak pidana korporasi hanya dapat terjadi ketika seseorang bertindak dalam lingkungan korporasi baik dalam hubungan kerja maupun hubungan lain, di luar pembatasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana korporasi.
b. Siapa yang Dapat Dipertanggungjawabkan.
Setelah jelas tentang kapan dapat dikatakan terjadi tindak pidana korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (2),maka untuk menentukan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, dapat dilihat dalam rumusan Pasal 46 ayat (1) sebagai berikut:
“Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya”.
Memperhatikan rumusan Pasal 46 ayat (1) tersebut terlihat bahwa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana lingkungan adalah :
1) Korporasi yang meliputi (a) badan hukum; (b) perseroan; (c) perserikatan; (d) yayasan; atau (e) organisasi lain;
2) Yang melakukan perintah untuk melakukan tindak pidana (yang bertindak sebagai pemimpin);
3) Kedua-duanya.
3. Jenis Sanksi yang Dapat Dijatuhkan Terhadap Korporasi.
Pertanggungjawaban pidana korporasi belum lengkap, bila hanya disebutkan tentang, siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan kapan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Oleh sebab itu perlu perumusan tentang sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. Untuk menjawab masalah ini, dapat dilihat rumusan Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
Pasal 45.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Ketentuan Pasal 45 tersebut memperlihatkan bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan korporasi, berarti terdapat pemberatan terhadap tuntutan dan penjatuhan pemidanaan yaitu sepertiga. Selain ketentuan Pasal 45, juga terdapat rumusan Pasal 47 tentang sanksi berupa tindakan tata tertib yang dapat dijatuhkan, yang rumusan lengkapnya sebagai berikut:
Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
2. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
3. Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
4. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;dan/atau
5. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau;
6. Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Ketentuan Pasal 47 tersebut memperlihatkan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, dan sanksi sebagai mana tercantum dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, disertai dengan sanksi berupa tindakan tata tertib, berupa: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau; menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
3. Perbandingan Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Peraturan Perundangundangan yang lain.
Penetapan korporasi sebagai suatu subjek tindak pidana dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanyalah sebagian dari kebijakan formulasi penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Di luar Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, masih terdapat peraturan perundang-undangan lain yang menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Penetapan korporasi sebagai suatu subjek tindak pidana tersebut dapat dijumpai dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif) di Indonesia (di luar KUHP), secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (a) Peraturan perundang-undangan yang menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat dimintai pertanggungjawaban pidana; (b) Peraturan perundang-undangan yang menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun demikian pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada anggota dan pengurus korporasi. Kedua golongan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, tergolong sebagai peraturan yang memiliki perumusan yang lengkap menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pasal 15 ayat (1).
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindatakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.
Memperhatikan rumusan Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt Tahun 1955 tersebut terlihat bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi telah dikenal, hanya saja terminologi yang dipakai belum menggunakan istilah korporasi tetapi disebutnya sebagai badan hukum, perseroan, perserikatan orang maupun yayasan. Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada: (1) badan hukum, perseroan, perserikatan orang atau yayasan; (2) yang memberi perintah melakukan tindak pidana, atau yang bertindak sebagai pemimpin; (3) kedua-duanya, baik kepada korporasi (badan hukum, perseroan, perserikatan orang atau yayasan) dan orang yang memberikan perintah atau pemimpin dalam korporasi tersebut.
2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
Pertanggungjawaban pidana korporasi juga dikenal dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos, hanya saja terminologi yang dipakai belum menggunakan istilah korporasi, tetapi menggunakan istilah badan hukum, perseroan, perserikatan
orang lain, dan yayasan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 19 ayat 3 sebagai berikut:
Pasal 19 ayat (3)
“Jika tindak pidana yang disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh, atau atas nama, suatu badan hukum, perseroan, perserikatan orang lain, atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan tersebut, maupun terhadap orang yang memberi perintah melakukan tindak pidana sebagai pimpinan atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian yang bersangkutan, ataupun terhadap keduaduanya”.
Memperhatikan rumusan tersebut terlihat bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada (1) badan hukum, perseroan, perserikatan orang lain, atau yayasan maupun yang mengatasnamakannya;(2) orang yang memberi perintah atau
penanggungjawab; (3) kedua-duanya. Sementara itu sanksi yang dapat dijatuhkan adalah sanksi pidana maupun tindakan tata tertib terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana. Bahkan ketentuan Pasal 20 memberikan sanksi tambahan kepada korporasi berupa “kewajiban membayar ganti rugi”, yang lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 13, selain dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 19 ayat (2), diwajibkan pula membayar ganti rugi kepada badan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (3).”
3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, tidak ditemukan terminologi korporsi, namun demikian apabila memperhatikan pengertian Pasal 1 ke-7 yang berbunyi:
“Perusahaan industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri”
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan industri yang dimaksudkan adalah badan usaha yang juga disebut dengan korporasi. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian tidak disebutkan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dan kapan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, serta sanksi apa yang dapat dijatuhkan namun apabila memperhatikan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 24 yang mengatur tentang sanksi berupa penjatuhan ijin usaha industri, maka sangat dimungkinkan bahwa subjek tindak pidana yang dimaksudkan dalam undang-undang ini termasuk di dalamnya adalah subjek hukum korporasi.
4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 antara lain disebutkan bahwa penuntutan dapat dilakukan terhadap pelaku usaha (badan hukum/bukan); dan atau pengurus, hal tersebut diatur dalam Pasal 61. Namun demikian tidak ada pengaturan tentang kapan/bagaimana suatu badan usaha/badan hukum melakukan tindak pidana sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Daftar Pustaka
Anynomous, www.legalitas.org, diakses pada tanggal 15 Oktober, pukul 21.09 WIB.
Muladi dan Barda Nawawie Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung 1992.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Centre, Jakarta, 2002.
Nawawi Arief, Barda, Perbandingan Hukum Pidana, Radjawali Press, Jakarta, 1990.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.