Selasa, 28 Juni 2011

Proses Pembuktian Pada Perkara Perdata yang Menggunakan Alat Bukti Elektronik

Semakin banyaknya kejahatan-kejahatan yang dilakukan melalui dan atau menyalahgunakan teknologi informasi, memerlukan perhatian yang tepat dalam proses penegakan hukumnya, karena sampai saat ini di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur khusus mengenai perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dan ketentuan hukum acaranya, sehingga proses penegakan hukumnya masih berpedoman dapa ketentuan hukum acara perdata konvensional. 

Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan menanggulangi maraknya perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, terutama dalam proses penegakan hukumnya/proses beracaranya. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara perdata pada perkara-perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik. 

Pada praktiknya, masih banyak kendala yang dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, karena sulitnya mendapatkan alat bukti yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya manusia dari penegak hukum itu sendiri dalam menggunakan teknologi informasi untuk mencari suatu hal yang dapat diajukan sebagai alat bukti yang sah pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik. 

Penanganan perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik tidak terlepas dari proses pembuktian yang menjadi salah satu bahan pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan. Ketentuan hukum mengenai pembuktian termasuk tentang alat bukti yang sah secara hukum didasarkan pada ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) seperti Pasal 1866 KUHPerdata yang menegaskan mengenai susunan alat-alat bukti yang sah pada proses pembuktian dalam perkara perdata.

Proses pembuktian pada perkara perdata dilakukan dengan menerapkan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHPerdata, dalam hal ini dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata, terdiri dari : 

1. Bukti surat; 

2. Bukti saksi; 

3. Persangkaan; 

4. Pengakuan; 

5. Sumpah. 

Alat-alat bukti yang didapatkan dalam perkara perdata tersebut harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, maksudnya tidak mengada-ada ataupun menyimpang dari yang sebenarnya, sehingga alat bukti tersebut dapat dianggap sah secara hukum digunakan pada proses pembuktian sebagai bahan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusannya. 

Para penegak hukum harus senantiasa memiliki dasar hukum atas semua tindakan hukumnya atas perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik terutama dalam proses penegakan hukumnya termasuk pembuktian. Penafsiran hukum terhadap beberapa ketentuan yang menyangkut hukum acara perdata perlu dilakukan dalam kaitannya dengan proses pembuktian secara elektronik dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, seperti penafsiran hukum secara sistematis dan ekstensif terhadap Pasal 1866 KUHPerdata terkait dengan alat-alat bukti yang sah secara hukum yang juga dapat diberlakukan dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik. Para penegak hukum dalam segala tingkatannya harus selalu meningkatkan kemampuan (sumber daya manusia) dalam berbagai hal menyangkut profesinya yang berkaitan dengan penegakan hukum, termasuk hukum mengenai teknologi informasi dalam hubungannya dengan pembuktian pada perkara-perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik. 

Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik pada dasarnya tidak berbeda dengan pembuktian pada perkara perdata konvensional, tetapi dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik terdapat beberapa hal yang bersifat elektronik yang menjadi hal utama dalam pembuktian, antara lain adanya informasi elektronik atau dokumen elektronik. Ketentuan hukum mengenai pembuktian atas perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dan alat bukti elektronik tersebut dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 1866 KUHPerdata. 

Proses pembuktian pada perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik yang pernah terjadi, dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yaitu dengan cara mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang ada dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik dianggap sebagai alat bukti surat sebagaimana termuat dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang didasarkan penafsiran hukum secara ekstensif (diperluas). Makna yang diperluas adalah makna dari alat bukti surat itu sendiri, dalam hal ini tidak hanya meliputi surat dalam arti fisik secara nyata tetapi juga surat dalam arti dunia maya atau sering disebut paperless, sehingga informasi elektronik dan atau dokumen elektronik termaksud dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian dalam kasus perdata yang menggunakan alat bukti elektronik.[1] Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik ini dapat pula dianggap sebagai alat bukti petunjuk, namun demikian harus didukung oleh keterangan ahli bahwa alat bukti elektronik tersebut memang merupakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang relevan dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik yang sedang diperiksa.[2]




[1] Wawancara dengan Bapak H.Aksir S.H,M.H, Hakim PN Jakarta Selatan, tanggal 6 April 2011, diolah. 
[2] Wawancara dengan Bapak H.Aksir S.H,M.H, Hakim PN Jakarta Selatan, tanggal 6 April 2011, diolah.